Apakah mati merupakan satu-satunya jawaban saat raga tak mampu lagi menahan sakit?....
Saya terkejut saat menghadapi soal ulangan mata pelajaran agama saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas hanya terdiri dari satu nomor berupa studi kasus. Hal ini tidak lumrah terjadi. Di soal itu tertulis kisah seorang suami yang menginginkan istrinya yang mengalami kerusakan otak sekitar 86 persen untuk disuntik mati saja. Permohonan tersebut diajukan karena ia merasa tidak mampu lagi membayar biaya perawatan istrinya. Tidak diketahui kapan istri tercintanya itu akan terbangun. Atas alasan itulah ia meminta agar dokter mengakhiri saja penderitaan istrinya dengan suntik mati. Euthanasia, hanya itulah jawaban yang dapat dipikirkan olehnya. Sang suami dihantui ketakutan bahwa ia hanya memperpanjang siksa raga istrinya. Lagipula beban hidup pun semakin bertambah saat putrinya yang berumur 2 bulan divonis menderita Hernia. Namun, permohonan ini ditolak oleh pihak rumah sakit. Dengan sangat menyesal sang suami menentang keputusan rumah sakit tersebut dan berniat mengajukan permohonan ke pengadilan.
Seusai membaca kasus ini saya bingung. Saat itu saya bukanlah orang yang berkecimpung dalam dunia medis atau seorang teolog handal yang mengerti tentang Euthanasiasecara mendalam. Akhirnya saya hanya menuliskan kata2 sederhana yang terlintas di pikiran saya.
Hidup manusia itu unik. Yang Maha Kuasa telah memberikannya secara cuma2 bagi semua umat manusia. Walaupun gratis tak berarti hidup itu hanya selembar kertas putih polos tak bermotif yang tak berharga. Selalu terbuka kesempatan bagi manusia untuk memperjuangkan hidupnya dan mewarnai hari2 indahnya. Itulah esensi utama dari hidup. Manusia berjuang sebagai rasa terima kasih atas hidup yang sudah di berikan Sang Pencipta. Orang yang sedang menderita tersebut juga masih hidup walau penuh dengan keterbatasan. Ia juga memiliki keinginan yang sama dengan orang di luar sana untuk berjuang atas hidup dan kehidupannya. Yang ia butuhkan saat itu adalah kesempatan. Ya, kesempatan yang di berikan oleh orang2 disekitarnya. Kesempatan baginya untuk mempertahankan hak atas hidupnya sendiri. Merampas hak seseorang atas hidupnya sama halnya dengan membunuh orang bukan?
Seminggu berselang, saya penasaran dengan kelanjutan kasus yang menjadi soal ulangan saya itu. Menurut sumber pembuat soal, kasus ini merupakan kisah nyata yang terjadi di Indonesia. Tanpa sadar saya membuka sebuah halaman surat kabar. Saya terkejut akan headline yang ditulis. Disitu dikatakan bahwa seorang pasien koma yang diperkirakan dokter hanya memiliki harapan hidup yang kecil tiba2 menunjukkan tanda2 kesadaran ketika hendak di suntik mati oleh suaminya sendiri. Saya cukup senang mendengar berita ini sekaligus menyesal. Saya senang tindakan ini urung dilakukan. Pihak rumah sakit ingin memberikan kesempatan bagi pasiennya untuk berjuang sekali lagi mempertahankan hidupnya. Namun saya juga menyesal karena saya lupa menuliskan sesuatu pada lembar jawaban saya. Kata2 itu berbunyi seperti ini. “hidup manusia tidak pernah ada yang tahu kapan berakhirnnya. Seorang dokter sekalipun tidak dapat mengetahui dengan pasti kapan hidup pasiennya akan berakhir”. Kini, saat sudah terjun langsung dalam dunia medis, saya jadi semakin sadar. Dokter yang baik akan berjuang semaksimal mungkin demi kepentingan hidup manusia. Ia tidak berhak memeberikan vonis apapun atau bertindak seolah dia yang menciptakan kehidupan itu. Karena hanya Tuhan Sang Empunya hidup, yang berhak mengambilnya. Bukan begitu?Shafa's...