Seorang inspirator untuk kita
profesi perawat yang semakin membuat kita bangga dengan profesi kita saat ini,
dialah ibu Hj. Andi
Rabiah atau yang lebih dikenal dengan nama Suster Apung adalah salah satu
perawat yang mendedikasikan hidupnya untuk membantu sesama di
daerah kepulauan.
Tidak pernah terbesit didalam pemikirannya bahwa ia akan menghabiskan separuh
hidupnya mengarungi lautan di Kepulauan Sulawesi dan Flores untuk menyembuhkan
pasien-pasien yang tersebar di sekitar pulau-pulau kecil dengan hanya berbekal
tekad dan perahu. Dalam melakukan kegiatannya ia tidak pernah mengeluh
sekalipun, bahkan pada tahun pertamanya ia bekerja sebagai perawat, ia selalu
menagih janji kepada kepala desa yang pernah menjanjikannya untuk melaut.
Sebagai perawat, ia memiliki prinsip yaitu bekerja sebagai pelayanan dan
tanggung jawab kepada masyarakat. Ia memandang bahwa mereka juga saudara kita
dan rakyat Indonesia berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Seperti yang
ia katakan suatu waktu “Tidak ada yang boleh meninggal karena melahirkan dan
tidak ada pula yang boleh meninggal karena diare”. Sebuah sikap yang terus
diperjuangkan sekuat tenaga meskipun selalu mengarungi lautan yang sering kali
tidak ramah. Walaupun hasil gaji yang diterima tidaklah besar dan tidak ada
jaminan asuransi, namun Ia tetap mengabdikan dirinya untuk membantu pasien yang
membutuhkan jasanya.
Ibu Rabiah lahir di Sigeri, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), 29 Juni
1957. Setamat SMP, ia melanjutkan sekolah di Penjenang Kesehatan (PK), sekolah
kesehatan setingkat SPK. Masuk ke PK pada 1975-1976.Lulus PK, April 1977, Ibu
Rabiah jadi pegawai negeri sipil di Puskesmas Liukang Tanggaya, Pulau Saputan,
Kecamatan Liukang Tanggaya, Kabupaten Pangkep. Status itu masih disandangnya
hingga kini. Di Puskesmas Liukang Tanggaya, wilayah kerjanya meliputi 25 pulau.
Di antaranya, Pulau Sumanga, Saelo, Satanga, dan Kapoposan Bali. Ke-25 pulau
itu dibagi jadi lima wilayah, yaitu wilayah tengah, barat,utara, timur, dan
selatan.
Ibu Rabiah menggambarkan, jarak tempuh dari wilayah tengah ke wilayah timur
berkisar 11 jam perjalanan dengan transportasi air. Bahkan, ada pulau yang
letaknya lebih dekat ke Lombok ketimbang ke Makassar sehingga perjalanan butuh
waktu lebih lama lagi."Kalau mau ke pulau untuk mengobati pasien,
berangkat pagi-pagi dengan perahu motor. Rata-rata baru sampai di tujuan saat
magrib," kata Ibu Rabiah.
Selama menjalani pekerjaanya sebagai perawat, tak jarang Ibu Rabiah didera kesulitan.
Perahunya bocor adalah salah satu kendala yang kerap dialaminya. Pada 1979,
perahu motornya malah pernah menghantam karang. Ibu Rabiah dan 14 orang
penumpang lainnya terdampar tujuh hari tujuh malam di Pulau Karang Kapas, pulau
karang tanpa tumbuhan dan tak berpenghuni.
"Kapal yang saya tumpangi kebetulan membawa penyu. Lalu, kami membakar besi dan
menulis kapal Pelita Jaya terdampar di atas karang kapas tanggal 6, bulan 3,
malam Selasa, di atas kulit penyu yang sudah mati. Setelah tujuh hari, akhirnya
datang bantuan dari Pulau Sailus Kecil," kenang Ibu Rabiah.
Dalam peristiwa itu, Ibu Rabiah harus berbagi nasi yang dimasak dari beras
seliter untuk 14 orang per hari. Sebagai bahan bakar, ia menggunakan kayu dari
puing-puing kapal yang rusak terhantam karang. Dalam menjalankan tugasnya,
suster Ibu Rabiah memang harus menggunakan perahu dan melawan ombak. Itu
dilakoninya dengan ikhlas. Tujuannya hanya satu: mendatangi orang yang
membutuhkan pertolongannya. Ke pelosok mana pun Ibu Rabiah datang untuk menolong.
Ia mendedikasikan hidupnya untuk orang banyak sepanjang 30 tahun. Tanpa keluh,
tanpa bosan, tanpa lelah.
Ibu Rabiah tidak malu mengakui perbuatannya ketika harus memberikan cairan
infus yang sudah kadaluarsa lima tahun kepada pasiennya. Itu terjadi 10 tahun
lalu. Di Pulau Sapuka, penyakit diare mewabah dan persediaan cairan infus sudah
habis, sementara satu pasien dalam kondisi sekarat.
"Cairan infus yang ada tinggal peninggalan teman yang sudah pindah tugas.
Saya ragu-ragu juga, pasang...tidak...pasang...tidak. Akhirnya saya pasang.
Setelah masuk tiga botol, saya lihat ada perubahan dan saya tambahkan sampai 10
botol. Alhamdulillah, si pasien sembuh dan masih sehat sampai sekarang,"
tutur Ibu Rabiah. "Pilihannya waktu itu, kalau saya tidak infus si pasien
akan mati. Jadi, saya ambil resiko. saya infus biar pakai cairan
kadaluarsa," ungkap Ibu Rabiah.
Ibu Rabiah, ibu dari empat orang anak, mengenal dunia medis dari neneknya.
Setamat SMP, ia terus memperdalam soal medis. Ia ingin mengikuti jejak neneknya,
tenaga medis pertama di kampungnya. Dorongan niat yang begitu kuat membuat Ibu
Rabiah tak mengeluh ketika diterima jadi PNS dengan gaji pertama Rp 17 ribu. Ia
pun tak menolak ditugaskan di pulau. Sampai sekarang, dengan statusnya yang
menjanda (suami meninggal), misi sebagai penyembuh itu ia jalani. Hitungannya
sudah 30 tahun!
Nama Ibu Rabiah dan julukan 'Suster Apung' mencuat sejak muncul di acara Kick
Andy tayangan Metro TV. Ia mengaku pernah diberi uang Rp 200 juta oleh Wapres M
Jusuf Kalla. Uang itu ia pakai untuk membeli perahu, sembako, solar, dan bayar
ABK. Kini, Ibu
Rabiah si 'Suster Apung' berkeliling dari satu pulau ke pulau terpencil lainnya
untuk mengobati pasien. Dan, perjalanannya melakoni misi mulia untuk orang
banyak bergulir lebih lancar berkat perahu anyar pemberian JK.
Dedikasi, semangat pantang menyerah, tegar, pengorbanan untuk membantu sesama
adalah sedikit gambaran dari Ibu Hj. Andi Ibu Rabiah, seorang sosok yang patut
menjadi teladan bagi kita semua. Shafa's...
Tonton film dokumenternya disini!!!
0 Comments:
Posting Komentar